CINTA YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU
sebuah catatan yang tertinggal dari film Ainun Habibie
Aku boleh dibilang sangat jarang mau meluangkan waktu untuk menonton film. Apalagi film Indonesia. Biasanya kalau ingin mengunjungi bioskop ditanganku sudah harus memiliki beberapa review tentang film tersebut. Tidak terkecuali film Ainun Habibie. Banyaknya sorotan media tentang film itu apalagi ditonton langsung oleh Presiden SBY dan jajarannya membuatku penasaran akan film ini. Apalagi film ini adalah film yang dilandasi kisah nyata seorang teknokrat,negarawan,mantan Presiden kita yang tentu menarik keingintahuan kita. Film ini dibuat berdasarkan tulisan yang ditulis Habibie sendiri berjudul Habibie dan Ainun.
Menurut Habibie 2 minggu setelah ditinggalkan ibu Ainun suatu hari ia memakai piyama tanpa alas kakii dan berjalan mondar-mandir di ruang
keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu……… Ainun……… Ainun
…………….. Ainun …………..dan beliau mencari ibu di semua sudut rumah.
Para
dokter yang melihat perkembangannya sepeninggal ibu berpendapat
‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini…………..’ mereka
bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’.
Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu memberinya 3 pilihan;
1. Pertama, Habibie harus dirawat, diberi obat khusus sampai dapat
mandiri meneruskan hidup. Artinya Habibie ini gila dan harus dirawat di
Rumah Sakit Jiwa!
2. Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi Habibie di
rumah, harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan
harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya Habibie sudah gila dan
harus diawasi terus……………
3. Opsi ketiga, Habibie disuruh mereka untuk
menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah bercerita dengan
Ainun seolah ibu masih hidup.
Dan Habibie memilih opsi yang ketiga……………………….”
Kisah ini disampaikannya pada saat
BJ Habibie secara mendadak
mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung,
Ilham Habibie seperti yang diceritakan oleh Capt. Novianto Herupratomo.
Terus terang aku memang belum membaca bukunya (setelah menonton film ini aku bertekad akan membaca bukunya juga..:).Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan
kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras
tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional
Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang. Dicetak 75.000 eksemplar dan
langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu
dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia
juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka. Semua uang hasil penjualan buku ini tak satu
rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang
hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk
oleh Habibie dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya
adalah para penyandang tuna netra.
Dari buku yang best seller ini maka MD Pictures memfilmkannya karena
ada kisah cinta yang luar biasa di dalamnya demikian kata produser MD Pictures,
Manoj Punjabi.
Selain kisah cinta , menurutku di film ini juga sarat makna, akan cinta tanah air pengorbanan seorang Habibie kepada negaranya.
Salah satu scene yang paling menarik bagiku adalah ketika suatu hari di sebuah hanggar tua dalam kawasan IPTN, Bandung, saya kira tahun 2000-an Habibie (Reza Rahadian) bersama istrinya Ainun (Bunga Citra Lestari) menyempatkan diri singgah. Mantan Presiden RI ini menunjukkan sebuah pesawat yang berdebu Gatotkaca N250. Sambil menangis Habibie berkata: Untuk membangun pesawat itu saya kehilangan waktu 30 tahun bersama kamu dan anak-anak. Adegan yang membuatku terharu ,merinding dan menitikkan air mata.
Saya mendapatkan cerita menarik dari peristiwa ini (setelah mengulik-ulik pencarian data di internet). Ini diceritakan oleh seorang blogger Capt. Novianto Herupratomo dimana diusianya 74 tahun mantan Presiden RI, BJ Habibie itu secara mendadak
mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung,
Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo. Menurut apt. Novianto Habibie dan rombongan disambut oleh President & CEO,
Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area
Manager yang sedang berada di Jakarta.
Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb:
“Dik, anda tahu....Saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka
pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua
hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau
melanjutkan….“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator
paling unggul, ….itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa
cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai
Insinyur….Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan
penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim
dan Teknologi Dirgantara.
Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para
pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden
Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan
teknologi dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan
pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan
kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah
bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik
dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi
sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja
program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’
berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun
perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah
IPTN.
Sekarang Dik,…anda semua lihat sendiri…N250 itu
bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa
mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’)
berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk
30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal,
satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi
‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini
membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya
900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA.
IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk
pasar negara-negara itu.Namun, orang Indonesia selalu saja gemar
bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia
bikin pesawat terbang?’
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.
Dik tahu…di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri
strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan
Indonesia…
Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia
terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai
negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan
Eropa…………….
Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua…………………?
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan
menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier,
Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun.
Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16
ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang
beli pesawat negara mereka!”
Pak Habibie menghela nafas………………….
Diluar scene diatas yang menurut saya the best, saya sangat menikmati film ini dari awal sampai akhir. Seperti sebuah film drama cinta yang kebetulan
menyangkut salah seorang mantan orang nomor satu di republik ini.
Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tapi saya berjanji akan menjadi
suami yang ideal untuk Ainun," kata Habibie saat melamar Ainun di atas
becak. Ini salah satu dialog di film Habibie dan Ainun.
Tidak ada kata-kata gombal atau pun rayuan kacangan dalam film
berdurasi dua jam. Cerita dan
dialognya begitu sederhana dan menyentuh. Bagaimana seorang Habibie yang
jenius jatuh cinta seketika pada Ainun yang baginya semanis gula.
Kehidupan perkawinan yang cukup berat karena kondisi keuangan yang
sulit di negeri orang, dan berbagai rintangan lainnya dalam mewujudkan
mimpi, tergambar jelas di film ini.
Klimaksnya adalah ketika Habibie harus rela melepaskan belahan
jiwanya kembali ke pangkuan yang Maha Kuasa. Adegan ini sangat menguras
air mata.
Saya sangat puas seperti ratusan penonton (didominasi kaum ibu) yang memenuhi bioskop. Film ini rekomended sekali dan memberi pelajaran tentang cinta. Cinta kepada kekasih, cinta kepada tanah air.